Homer: dari Yunani ke Negeri Saba

JEJAK DIJITAL
0

 


Oleh Hendra Gunawan,

Depok, 18 Agustus 2025


Homer selalu berdiri di atas tanah yang retak: satu kakinya menapak pada kerapuhan, kaki lainnya melangkah ke arah kerinduan. Dan gema pertanyaan itu tetap terdengar ribuan tahun hingga bangsa ini merdeka: bisakah kita lari dari kerapuhan usia dan bertemu dengan kepastian hidup abadi yang ideal?


Di situlah tragedi sesungguhnya.


Di satu sisi, kita tidak rela dijajah bangsa lain. Namun di sisi lain, keluhan selalu terdengar seolah kita sedang “dijajah” oleh bangsa sendiri.


Permainan abadi ini terus berulang digaungkan. Terutama bagi mereka yang kalah dalam politik. Dan di tengah hiruk pikuk tafsir kemenangan, justru rakyatlah yang menanggung rapuh: korupsi yang tak kunjung reda, krisis yang menyayat, dan luka sejarah yang menganga.


Kerinduan adalah sumber harapan dan energi yang mendorong manusia untuk tetap berjuang. Namun, seperti yang diceritakan Homer, kerinduan itu sendiri tidak menjamin akhir yang bahagia. Kekuatan kerinduan terletak pada pelarian dari kerapuhan, tetapi juga pada penerimaan dan tindakan. Kerapuhan adalah bagian dari kondisi manusia. Menerima bahwa kerapuhan itu ada, bahkan dalam struktur paling kuat sekalipun, mungkin adalah langkah pertama.


Setelah itu, kerinduan kita akan idealisme tidak boleh hanya menjadi angan-angan. Kerinduan itu harus menjadi kekuatan pendorong untuk menciptakan perubahan nyata. Seperti dalam epik Homer, kerapuhan selalu ditemani kerinduan. Kita masih merindukan negara yang ideal. Bukan Yunani versi Homer yang penuh dewa bertikai, melainkan seperti Saba’ versi wahyu—baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur: negeri yang baik tata keloalanya, rakyatnya rukun ekonomi stabil, dan diberkahi oleh Tuhan.


Amin.

  • Older

    Homer: dari Yunani ke Negeri Saba

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)
3/related/default